Ketika efek pemanasan global bukan lagi sekadar wacana tanpa makna yang dibaca di media-media.
JUJUR saja, banyak yang beranggapan bahwa perubahan iklim dan pemanasan global adalah istilah yang masih terlalu jauh untuk menyentuh Indonesia. Apalagi jika dikaitkan dengan urusan pertaniannya. Setidaknya, sampai beberapa tahun lalu saya masih berpikir itu cuma bagian dari wacana politis Al Gore saja. Atau usaha Negara-negara Barat untuk menggaet simpati Negara ketiga—apapun tujuannya. Sampai akhirnya saya merasakan sendiri bahwa cuaca di kota tempat saya tinggal saat ini benar-benar sudah tak bisa tertebak. Seharian panas terik, malamnya sudah hujan saja. Jika dulu bulan ini masih dikategorikan musim kemarau, sekarang hujan bisa saja turun seminggu penuh. Kali ini saya benar-benar harus percaya bahwa perubahan iklim memang sedang terjadi. Dan itu gawat.
Para ahli pun sepakat bahwa perubahan iklim telah menyebabkan berbagai ancaman serius untuk kopi. Sebuah panel yang dihadiri oleh sejumlah pemimpin industri di acara Re:co Symposium telah mendiskusikan sejauh mana perubahan iklim telah memengaruhi berbagai industri, terutama sejak isu ini bergulir lebih dari satu dekade lalu. Dalam diskusi itu juga dibahas bagaimana usaha untuk mengurangi efek buruknya dan, kalau bisa, memperbaikinya.
Bagaimana perubahan iklim bisa memengaruhi kopi? Oke, pertama-tama kita harus sepakat dulu bahwa kopi—seperti halnya tumbuhan tropis lainnya—adalah tanaman yang wilayah tanamnya tidak boleh berada di kondisi yang terlalu panas, terlalu dingin, terlalu kering atau terlalu basah agar bisa dipanen dengan baik. Tapi perubahan iklim telah membuat semua skenario ini menjadi kacau balau. Dan “kekacauan” siklus iklim ini bisa memengaruhi baik jumlah produksi kopi yang dihasilkan dan kualitasnya sendiri—dua hal yang ikut menentukan penghasilkan para petani kopi.
Dampak lain yang dirasakan dari perubahan iklim malah lebih dramatis: (bencana) kekeringan dan penyakit epidemik tumbuhan yang datang menjadi lebih cepat dan keras. Perubahan yang tiba-tiba ini akhirnya membuat petani cenderung merugi apalagi jika efeknya datang semakin sering. Di tahun 2014, sebuah bencana kekeringan tidak terduga di Brazil telah membuat Negara itu kehilangan nyaris seperlima total produksi kopi negaranya. Ethiopia bahkan berada di wilayah dengan kondisi kekeringan terparah dalam 60 tahun terakhir. Di Amerika Tengah, sebuah epidemik kopi berkepanjangan telah mengakibatkan karat daun pada pohon kopi dan membuat 1.7 juta pekerja kehilangan pekerjaannya.
Lebih jauh lagi, hutan termasuk yang paling fatal dipengaruhi oleh perubahan iklim ini, menurut Konservasi Internasional Bambi Samroc. Tanaman kopi-kopi Arabika pada umumnya lebih cocok dan menyukai wilayah tanam yang memiliki elevasi cukup tinggi di daerah tropis. Wilayah tanam yang tinggi itu pada dasarnya adalah daerah yang beriklim dingin dan seringkali menjadi tempat konsentrasi hutan-hutan berada. Tapi karena planet ini semakin panas, daerah-daerah pegunungan yang tadinya beriklim dingin itu pun lama-lama menjadi hangat. Dan ini tentu tidak baik untuk tumbuhan Arabika yang ditanam di sekitarnya. Hasil panen menjadi lebih sedikit adalah satu dari sekian dampak buruk yang diakibatkan oleh perubahan iklim dan pemanasan global. Masih menganggapnya terlalu jauh untuk didengar?
Di luar, telah ada beberapa ahli botani kopi dan peneliti yang membantu memetakan risiko perubahan iklim di negara-negara tertentu dan memprediksi kemungkinan dampak terburuk yang bisa diakibatkannya. Mengetahui kemungkinan terburuk sedini mungkin toh akan bisa mencegah imbas yang lebih parah. Kalau di Indonesia sendiri, saya belum tahu kondisinya seperti apa karena—sejujurnya—sedikit sekali informasi tentang ini. Ada yang mau membaginya?